Kekerasan di Sekolah Ruang Eksekusi di Zona Antikekerasan
- by

Jakarta - Wilayah terlarang dan keberadaan sejumlah gank selama ini menjadi hal yang lazim di setiap sekolah. Sekalipun dari tahun ke tahun banyak siswa yang jadi korban kebrutalan gank atau kelompok siswa.
Sebelum nasib naas menimpa Ade Fauzan Mahfuza, siswa kelas I SMAN 82 Jakarta Selatan, awal November lalu, nasib yang sama juga dialami Muhammad Fadhil Harkaputra Sirath, murid SMA 34 dan Blasius Adi Saputra, siswa SMA Pangudi Luhur, pada 2007, silam.
Fadhil dan Adi sama-sama pernah menjadi korban kekerasan yang dilakukan para seniornya di sekolah. Fadhil dihajar hingga patah tulang oleh seniornya di gank Gazper, sebuah nama kelompok siswa yang ada di SMA 34. Sementara Adi dikeroyok hingga babak belur dan masuk rumah sakit oleh para seniornya.
Menurut pengakuan keduanya saat itu, aksi pemukulan dan kekerasan yang dialami merupakan hal rutin yang dialami para siswa junior. Bahkan Ade sempat mengaku kalau di SMA Pangudi Luhur ada sebuah WC di lantai 2 yang menjadi lokasi rutin pemukulan.
Para siswa di sekolah itu menyebutnya dengan "ruang eksekusi". Di ruang itulah para senior leluasa memukuli dan menghajar siswa junior.
Ulah para senior membuat tingkat kekerasan di sekolah semakin meningkat. Setidaknya berdasarkan data yang dikumpulkan Komnas Perlindungan Anak (KPA) angka kekerasan di sekolah pada tahun 2009 meningkat hinga 20% dibanding pada tahun 2008.
Menurut Sekjen KPA, Arist Merdeka Sirait, pada tahun 2009 telah terjadi aksi bullying atau kekerasan di sekolah sebanyak 472 kasus. Angka ini meningkat dari tahun 2008, yang jumlahnya sebanyak 362 kasus.
"Meningkatnya aksi kekerasan di sekolah karena tumbuh suburnya gank-gank di sekolah. Dan kondisinya diperparah akibat sikap pendidik yang tidak serius menyoroti keberadaan gank-gank siswa tersebut," tegas Aries kepada detikcom.
Keberadaan gank-gank tersebut, kata Arist, merupakan bentuk eksistensi para siswa di setiap sekolah. Tujuan pembentukan gank tersebut sebagai bentuk eksistensi bagi siswa yang jadi anggotanya. Mereka ingin terlihat eksis di lingkungan sekolah.
Jangan heran jika di hampir seluruh sekolah, khususnya di Jakarta, banyak bermunculan gank. Sebut saja Gazper (SMA 34), Sepultura (SMA 110), Gor'A'Six (SMA 6), dan lain-lain.
Jumlah gank di sekolah yang paling banyak adalah di SMA 70, Jakarta Selatan. Sebab di sekolah yang merupakan gabungan dari SMA 11 dan SMA 9 itu terdapat sedikitnya 24 gank. Masing- masing gank berasal dari tiap-tiap angkatan.
"Kalau di SMA 70 sebenarnya tidak ada gank. Sebab nama-nama julukan yang ada sebagai identitas angkatan. Misalnya angkatan 1992 bernama Shandinista, " jelas Alex, alumnus SMA 70 angkatan 1998, yang angkatannya dikenal dengan nama Garnizoon.
Masing-masing angkatan biasanya punya wilayah tingkrongan masing-masing. Untuk kelas III, kata Alex, wilayahnya di depan sekolah. Kelas II punya wilayah di GOR Bulungan, sementara kelas I di halte bus bulungan.
Menurut Alex, meski ada kelompok angkatan di SMA 70, tapi keributan di dalam sekolah hampir jarang terjadi. Sebab, lanjut Alex, perkelahian yang sering mereka lakukan lebih sering dengan siswa sekolah lain di wilayah Jakarta Selatan.
Adapun konflik antarsiswa di sekolah, biasanya terjadi lantaran perebutan pengaruh di dalam sekolah. Dan biasanya, perebutan pengaruh itu terjadi antara kelas III dan kelas II. Tidak jarang perebutan pengaruh tersebut berakhir dengan bentrokan antarangkatan.
Sementara alumni SMA 70 lainnya, yang enggan namanya disebut mengatakan, kekerasan yang terjadi SMA favorit itu, umumnya hanya terjadi terhadap siswa baru. Tapi bentuk kekerasan yang dilakukan bukan dengan cara memukuli juniornya. Melainkan, para senior menggojlok mereka untuk tawuran dengan siswa sekolah lain.
Cara seperti itu merupakan sebuah agenda ritual bagi siswa baru untuk mendapatkan nama angkatan. Dan agenda "ritual" terhadap siswa-siswa baru sudah menjadi tradisi turun temurun di sekolah tersebut.
Bagi KPA, tradisi semacam ini, sangat rentan terjadinya bullying di sekolah. "Adanya kelompok-kelompok di dalam sekolah menjadi penyebab utama kekerasan," ujar Arist Merdeka Sirait.
Kata Arist, keberadaan gank di sekolah akan menimbulkan bentuk superpower bagi para senior. Kondisi ini disebabkan pihak sekolah tidak peka. Padahal masalah kekerasan tersebut diancam pasal 54 UU No 23, Tahun 2002. Dalam pasal tersebut disebutkan, lingkungan sekolah wajib jadi zona antikekerasan.
Bukan hanya siswa pelaku kekerasan yang bisa dijerat, para pengajar di sekolah juga bisa kena sanksi dari UU tersebut, yakni pelanggaran Pasal 82 UU No 23/2002, karena dianggap melakukan pembiaran.
Sayangnya UU tentang antikekerasan di sekolah tersebut tidak tersosialisasi dengan baik. "Harusnya Depdiknas membuat surat edaran tentang UU ini. Supaya kekerasan di dalam sekolah tidak terjadi lagi," tandas Aries.
Sementara Juru Bicara Dinas Pendidikan DKI Jakarta, Yusen Hardiman, mengatakan, masalah kekerasan bukan hanya tanggungjawab sekolah saja. Semua pihak harus ikut bertanggung jawab. "Ini jadi tanggung jawab bersama, antara sekolah, orang tua, dan masyarakat," ujar Yusen.
(ddg/nrl)